Rabu, 23 Januari 2013

CERITA WAYANG SEMAR GUGAT



Semar merupakan sosok tokoh pembela kerajaan yang sangat disiplin dan religious. Semar juga sosok tokoh yang amat setia kepada raja. Kehidupannya selalu diserahkan kepada sang raja yang bernama Raden Arjuna. Dia mengingatkan anaknya bahwa mereka adalah panakawan, abdi kinasih satriawan. Mereka adalah pembimbing, pengusir ragu dan bimbang, cahaya murni, penerang hati nurani, pelita yang menuntun dalam gulita. Demikian juga sang raja yang begitu menghormati Semar. Namun, di balik kekuatan dan ditakuti oleh banyak orang, Semar juga merupakan sosok yang penuh dengan perasaan. Dia juga menangis dan merasa sedih ketika kuncungnya digunting oleh Arjuna. Bagi Semar kuncung rambutnya adalah “Semar Gugat” sama seperti mahkota. Ia menganggap kuncung itu adalah identitas diri kehormatan dan harga dirinya. Oleh karena itu, ketika kuncung itu dipotong, Semar merasa kehilangan rasa percaya diri. Semangat hidupnya hilang. Sutiragen istri Semar kebingungan bagaimana cara mengatasi kesedihan suaminya itu. Selama ini Semar merasa kalau dia adalah panakawan yang paling setia. Ia selalu menjaga raja dan kerajaannya. Rasa kecewanya begitu mendalam sampai dengan meragukan kepalanya milik siapa: “Apa salahku? Apa dosaku? Kurang apa hormatku? Kurang apa setiaku? Aku selalu hormat, setia, dan menjaga, mengapa baktiku itu harus dibalas dengan hinaan? Dia anggap kepala jelek yang berkuncung ini cuma barang mainan? Mungkin dia anggap bulatan bendos ini, cuma semacam buah-buahan hutan yang dijual obral di pasar swalayan. Semua orang bebas pegang sesuka hati sebelum mereka putuskan untuk membeli. Jadi milik siapa sesunguhnya kepala ini? Miliknya? Milik dewa-dewa? Milik para ksatria, majikan kita? Sudah bukan milikku lagi, kenapa kepala bulukan ini masih tetap nangkring di atas leherku? Untuk kepentingan siapa? Dan untuk apa kupertahankan jadi milikku, kalau ternyata hanya jadi bahan hinaan para ksatria? Maafkan kepalaku, terpaksa aku meragukan manfaatmu. Semar menganggap bahwa kepala dan kuncungnya adalah simbolisasi kekuatan dan kewibaannya. Baginya hanya satu orang saja yang berhak memegang kepalanya. “Hanya bapakku, Yang Mulia Jagat Raya, yang berhak memegang kepalaku, atau mencukur kuncungku. Bahkan dewa-dewa juga tidak berhak, apalagi para ksatria.” Setelah memendam kekecewaan yang begitu  mendalam, Semar akhirnya memutuskan untuk melakukan ‘gugatan’. Perbuatan yang menghina dirinya itu sangat tidak bisa diterima oleh akalnya. Ia pun memutuskan untuk merubah sikap dan pendiriannya yang selama ini hanya pasrah dan ‘nrimo’ titah dari raja. Selama ini dia hanya berkata inggeh, inggeh atas semua kemauan dan kehendak sang raja. “Kalau begitu, aku harus bikin sesuatu. Sudah waktunya aku bergerak, dan menuntut. Sudah lama aku hanya diam dan pasrah. Sudah waktunya aku bilang: tidak! Tidak! Dan, hidup harus ada perubahan. Bersama dengan Bagong anaknya, Ia pun pergi menuju tempat yang paling sesuai melakukan gugatan. Semar tidak pergi menemui Arjuna tetapi para dewa di istananya, Kahyangan Jonggringan Salaka. Kerajaan dewa yang paling utama.  Ia akan merundingkan dan meminta balasan atas perlakuan yang diterimanya. Ia menganggap bahwa seharusnya tanpa digugat dewa pun sudah harus tahu apa yang diinginkannya. Permintaan Semar dikabulkan oleh dewa setelah ia bersedia menerima akibat karena permintaannya itu mengusik wewenang alam raya. Setelah itu, Semar sudah kelihatan tampan dan berwujud ksatria. Batara Guru mengganti namanya menjadi Prabu Sanggadonya Lukanurani. Kemudian, Semar juga diberikan sebuah kerajaan yang bernama Simpang Bawana Nuranitis Asri. Letaknya di antara kerajaan Amarta dan Astina. Namun, persoalan bukannya selesai tetapi justru bertambah rumit. Semar yang sudah dijelmakan menjadi Prabu Sanggodonya Lukanurani kebingungan karena istrinya tidak mempercayai prabu yang gagah itu adalah Semar:  “Ya, maaf. Saya harus kembali ke Tumaritis dan menunggu suami saya pulang dari Khayangan. Paduka terlalu bagus untuk perempuan kampung seperti saya. Paduka mengaku sebagai Semar. Kalau menuruti kata hati, boleh juga saya pura-pura percaya. Hidup terjamin mewah, tapi saya takut bagaimana kalau ternyata paduka bukan Semar dan suami saya yang asli pulang? Dimana kehormatan saya ditaruh?”. Semar kembali merasakan bahwa ada ketidakberesan dalam keputusannya mengubah diri menjadi seorang raja yang tampan. Dia kembali meminta petunjuk kepada dewa dengan cara bersemedi. Namun, walaupun Semar merasakan hinaan yang begitu mendalam karena kuncungnya digunting tetapi Semar masih memiliki ikatan batin dengan kerajaan Amarta. Hal itu terbukti ketika dia mendengarkan situasi yang terjadi di kerajaan Arjuna yang diceritakan oleh Larasati, Abimanyu dan Gatotkaca yang datang sewaktu dia bersemedi. Seperti yang diungkapkan Larasati “Aku menyusup ke Amarta, menemui mereka. Kasihan negeri kita. Kuper, terpencil. Rakyat yang setia masih bersedia bertahan, malah menderita. Arjuna dan Srikandi semakin merajalela. Bisnisnya ada di mana-mana. Mendengar cerita itu, Semar menentang adu kesaktian dengan Arjuna. Namun, sungguh di luar dugaan Semar. Ia sangat terkejut ketika sedang bertanding dengan Arjuna, kentut sebagai senjatanya tidak lagi sakti. Semar malu dan menyesal atas semua keputusan yang diambilnya untuk merubah dirinya menjadi seorang prabu. Hilangnya kesaktian, Istri dan anak tidak percaya menambah beban batinnya yang sudah lama dilanda kekecewaan.
Semua gambaran peristiwa dari tokoh Semar di atas memperlihatkan bahwa Semar sebagai tokoh yang begitu disegani oleh seluruh lapisan masyarakat kerajaan Amarta baik raja maupun rakyatnya sangat rapuh. Dia sebenarnya tidak menerima kodratnya sebagai Semar yang memiliki tubuh dan wajah jelek. Hanya, kekuatan kentutnya saja yang membuat dirinya merasa nyaman dengan jasmaninya. Semar yang dianggap rakyat kokoh dan kuat ternyata begitu mudah mengambil keputusan untuk menukar jasmaninya menjadi sebaliknya, tampan seperti Arjuna.  Ia memiliki pendirian tidak tetap atau gampang berubah. Akan tetapi, karena tidak mendapat penghargaan seperti Semar dahulu, ia yang sudah menjadi Prabu memohon kembali kepada Dewata untuk menjadikan dirinya seperti Semar yang dahulu. Padahal, latar belakang ia menukar dirinya menjadi prabu karena keinginannya disanjung seperti layaknya para ksatria yang lain yang memiliki wajah yang tampan dan kekayaan yang berlimpah. Akan tetapi, ia justru merasa menderita. Watak lain yang ditampilkan dalam diri Semar adalah kesetiaan kepada istri dan kasih sayangnya kepada ketiga anak-anaknya. Walaupun dia tampan dan kaya tetapi Semar tidak mau meninggalkan Sutiragen, istrinya. Kemudian, walaupun Petruk mengusulkan untuk mencari istri yang lain tetapi Semar tidak mau. Ia kehilangan semangat untuk menjadi prabu sekaligus raja jika sang istri tidak mendampinginya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar